SEJARAH HUKUM DI INDONESIA
Sumbangan Von Savigny sebagai “Bapak Sejarah Hukum” telah
menghasilkan aliran historis (sejarah). Cabang ilmu ini lebih muda usianya
dibandingkan dengan sosiologi hukum. Apa yang sejak lama disebut sejarah hukum,
sebenarnya tak lain daripada pertelaahan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridisi
dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, jadi adalah kronik hukum
dahulu. Sejarah hukum yang demikian itupun disebut “antiquiteiter”, suatu nama
yang cocok benar. Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan suatu yang berhenti melaiknkan
suatu yang bergerak; bukan mati melainkan hidup. Hukum sebagai gejala sejarah
berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat 2
arti yaitu, perubahan dan stabilitas. Hukum tumbuh, berarti bahwa ada terdapat
hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus
antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau. Hukum pada masa kini
dan hukum pada masa lampau merupakan suatu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita
dapat mengerti hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah.,
bahwa mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari
sejarah.
A. SEJARAH
HUKUM DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN
1. Periode Kolonialisme
Periode
kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal
Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a. Periode VOC
Pada zaman sebelum VOC datang ke nusantara, kedudukan hukum adat adalah
sebagai hukum positip yang berlaku sebagai hukum yang nyata
dan ditaati oleh rakyat yang pada saat itu Nusantara Indonesia
terdiri dari berbagai kerajaan. Contohnya Naskah hukum
adat yang lahir pada waktu itu antara lain Kitab Ciwakasoma yang dibuat pada
masa raja Dharmawangsa pada tahun 1000 Masehi, Kitab hukum Gadjah Mada pada
masa kerajaan Majapahit (1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada zaman Patih
Kanaka (1413-1430), dan Kitab Hukum Kutaramanawa di Bali.Memasuki Zaman
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu zaman dimana orang asing (Barat)
mulai masuk ke nusantara dan memberi perhatian terhadap hukum adat. Pada masa
ini ditandai dengan kebijakan Kompeni terhadap hukum adat dengan cara saling
menghormati. Kekuasaan VOC berakhir pada 31
Desember 1799.
Pada masa pendudukan VOC, sistem
hukum yang diterapkan bertujuan untuk :
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi
mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan
cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC,
sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
b. Periode Liberal Belanda
Memasuki periode 1816- 1848, kedudukan hukum adat mulai terancam karena
penguasa Hindia Belanda pada waktu itu mulai memperkenalkan dan menganut
prinsip unifikasi hukum untuk seluruh wilayah jajahannya dengan pengecualian
berlakunya hukum adat oleh bumiputera. Jadi secara prinsip hukum adat mulai
terdesak oleh berlakunya hukum Hindia Belanda akan tetapi dalam praktis
pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara hukum adat dan hukum barat. Pada tahun 1816 Peraturan-peraturan umum termuat dalam lembaran yang
diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan “Staatsblad”
beserta “Bijblad”-nya. Staatsblad dan Bijblad yang pertama kali terbit dalam
tahun 1816 sampai dengan 8 Maret 1942.
Tata hukum Hindia Belanda pada saat itu terdiri dari :
1. Peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan,
2. Peraturan-peratauran tertulis yang tidak dikodifikasikan,
3. Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi golongan Eropa.
Pada masa ini, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene Verordening (Peraturan pusat).
1. Peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan,
2. Peraturan-peratauran tertulis yang tidak dikodifikasikan,
3. Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi golongan Eropa.
Pada masa ini, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene Verordening (Peraturan pusat).
Ada 2 macam keputusan raja :
1) Ketetapan raja sebagai tindakan eksekutif disebut Besluit. Seperti
ketetapan pengangkatan Gubernur Jenderal.
2) Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif disebut Algemene Verodening
atau Algemene Maatregel van Bestuur (AMVB)
Pada 1854 di Hindia Belanda
diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan
tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi
kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama
kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari
kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam
(Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses
peradilan yang bebas.
c. Periode Politik Etis Sampai
Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan
pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang
berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi,
termasuk pendidikan lanjutan hukum;
2) Pembentukan Volksraad, lembaga
perwakilan untuk kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan,
khususnya dari segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya
dalam hal profesionalitas;
5) Pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum.
Setelah Belanda menguasai Hindia Belanda (Indonesia) kemudian penguasa
Jepang menduduki dan merebut Indonesia dari penjajahan Belanda. Pasukan Belanda
yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pada masa penjajahan Jepang
daerah Hindia dibagi menjadi Indonesia Timur (dibawah kekuasaan AL Jepang
berkedudukan di Makassar) dan Indonesia Barat (dibawah kekuasaan AD Jepang yang
berkedudukan di Jakarta).
Peraturan-peraturan yang digunakan untuk mengatur pemerintahan dibuat
dengan dasar “Gun Seirei” melalui Osamu Seirei. Pasal 3 Osamu Seirei No. 1/1942
menentukan bahwa “semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan
undang-undang dari pemerintah yang lalu tetap diakui sah untuk sementara waktu,
asal tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer. Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada zaman
penjajahan Jepang tidak sempat mengeluarkan berbagai peraturan
perundang-undangan karena masa menjajah hanya 31/2 (tiga
setengah) tahun kecuali Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 yang berisi
pemberlakuan berbagai peraturan perundangan yang ada pada zaman Hindia Belanda.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan
hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak
bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari
menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya
d. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat
berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang
bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan
peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran
badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama
yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
B. SEJARAH
HUKUM INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN
1. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak
asasi manusia.Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak
banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan
adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka
terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang
berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan
dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara,
yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No.
1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
2. Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan
Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan
peradilan adalah:
a. Menghapuskan doktrin pemisahan
kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
b. Mengganti lambang hukum dewi keadilan
menjadi pohon beringin yang berarti pengayoman;
c. Memberikan peluang kepada eksekutif
untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan
UU No.19/1964 dan UU No.13/1965;
d. Menyatakan bahwa hukum perdata pada
masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti
mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
3. Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan
tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam
proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru
?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk
beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia;
di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU
Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan
lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan
penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada
masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
4. Periode
Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang
Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di
arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang
mengemuka adalah:
a. Pembaruan sistem politik dan
ketetanegaraan;
b. Pembaruan sistem hukum dan hak asasi
manusia; dan
c. Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru,
bahkan kian luas jangkauannya.Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai
belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak
hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih
belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat
dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden
Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam.
Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat
untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara
mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan.Walaupun begitu, pembaruan hukum
tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
Hukum di Indonesia itu sendiri di
bagi menjadi beberapa hukum yaitu hukum perdata, hukum publik, hukum pidana,
hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional.
REFERENSI
· Bisri, Ilham , 2004, Sistem Hukum Indonesia
(Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia), Jakarta, PT.
RajaGrafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar