Super Kawaii Cute Cat Kaoani

Senin, 08 April 2019

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI


SEJARAH HUKUM DI INDONESIA
            Sumbangan Von Savigny sebagai “Bapak Sejarah Hukum” telah menghasilkan aliran historis (sejarah). Cabang ilmu ini lebih muda usianya dibandingkan dengan sosiologi hukum. Apa yang sejak lama disebut sejarah hukum, sebenarnya tak lain daripada pertelaahan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridisi dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, jadi adalah kronik hukum dahulu. Sejarah hukum yang demikian itupun disebut “antiquiteiter”, suatu nama yang cocok benar. Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan suatu yang berhenti melaiknkan suatu yang bergerak; bukan mati melainkan hidup. Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat 2 arti yaitu, perubahan dan stabilitas. Hukum tumbuh, berarti bahwa ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan suatu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah., bahwa mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah.

A.    SEJARAH HUKUM DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN
1.      Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a.       Periode VOC
Pada zaman sebelum VOC datang ke nusantara, kedudukan hukum adat adalah sebagai hukum positip yang berlaku sebagai  hukum  yang  nyata  dan  ditaati oleh rakyat yang pada saat itu Nusantara Indonesia terdiri dari berbagai kerajaan. Contohnya Naskah hukum adat yang lahir pada waktu itu antara lain Kitab Ciwakasoma yang dibuat pada masa raja Dharmawangsa pada tahun 1000 Masehi, Kitab hukum Gadjah Mada pada masa kerajaan Majapahit (1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada zaman Patih Kanaka (1413-1430), dan Kitab Hukum Kutaramanawa di Bali.Memasuki Zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu zaman dimana orang asing (Barat) mulai masuk ke nusantara dan memberi perhatian terhadap hukum adat. Pada masa ini ditandai dengan kebijakan Kompeni terhadap hukum adat dengan cara saling menghormati. Kekuasaan VOC berakhir pada 31 Desember 1799.
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk :
1)      Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2)      Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3)      Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.

b.      Periode Liberal Belanda
Memasuki periode 1816- 1848, kedudukan hukum adat mulai terancam karena penguasa Hindia Belanda pada waktu itu mulai memperkenalkan dan menganut prinsip unifikasi hukum untuk seluruh wilayah jajahannya dengan pengecualian berlakunya hukum adat oleh bumiputera. Jadi secara prinsip hukum adat mulai terdesak oleh berlakunya hukum Hindia Belanda akan tetapi dalam praktis pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara hukum adat dan hukum barat. Pada tahun 1816 Peraturan-peraturan umum termuat dalam lembaran yang diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan “Staatsblad” beserta “Bijblad”-nya. Staatsblad dan Bijblad yang pertama kali terbit dalam tahun 1816 sampai dengan 8 Maret 1942.
Tata hukum Hindia Belanda pada saat itu terdiri dari : 
  1. Peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan, 
  2. Peraturan-peratauran tertulis yang tidak dikodifikasikan, 
  3. Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi golongan Eropa. 

  Pada masa ini, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene Verordening (Peraturan pusat).
Ada 2 macam keputusan raja :
1)      Ketetapan raja sebagai tindakan eksekutif disebut Besluit. Seperti ketetapan pengangkatan Gubernur Jenderal.
2)      Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif disebut Algemene Verodening atau Algemene Maatregel van Bestuur (AMVB)

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.

c.       Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1)      Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;
2)      Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3)      Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4)      Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5)      Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum.

Setelah Belanda menguasai Hindia Belanda (Indonesia) kemudian penguasa Jepang menduduki dan merebut Indonesia dari penjajahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pada masa penjajahan Jepang daerah Hindia dibagi menjadi Indonesia Timur (dibawah kekuasaan AL Jepang berkedudukan di Makassar) dan Indonesia Barat (dibawah kekuasaan AD Jepang yang berkedudukan di Jakarta).
Peraturan-peraturan yang digunakan untuk mengatur pemerintahan dibuat dengan dasar “Gun Seirei” melalui Osamu Seirei. Pasal 3 Osamu Seirei No. 1/1942 menentukan bahwa “semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang lalu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer. Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada zaman penjajahan Jepang tidak sempat mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan karena  masa menjajah hanya 31/2  (tiga setengah) tahun kecuali Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 yang berisi pemberlakuan berbagai peraturan perundangan yang ada pada zaman Hindia Belanda.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya

d.      Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.

B.     SEJARAH HUKUM INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN
1.      Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia.Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

2.      Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
a.       Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
b.      Mengganti lambang hukum dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti pengayoman;
c.       Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965;
d.      Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

3.      Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

4.      Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
a.       Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
b.      Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
c.       Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya.Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam.
Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan.Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
Hukum di Indonesia itu sendiri di bagi menjadi beberapa hukum yaitu hukum perdata, hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional.




REFERENSI
·       Bisri, Ilham , 2004, Sistem Hukum Indonesia (Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia), Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar