A. Pengertian Objek Hukum
Objek
hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat
menjadi objek suatu hubungan hukum karena hal itu dapat dikuasai oleh subjek
hukum.
Dalam
bahasa hukum, objek hukum dapat juga disebut hak atau benda yang dapat dikuasai
dan/atau dimiliki subyek hukum. Misalnya, Andi meminjamkan buku kepada Budi. Di
sini, yang menjadi objek hukum dalam hubungan hukum antara Andi dan Budi adalah
buku. Buku menjadi objek hukum dari hak yang dimiliki Andi.
Yang dimaksud dengan objek hukum atau Mahkum Bih
ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau
ditinggalkan oleh manusia; atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan
atau tidak. Dalam istilah ulama ushul fiqh, yang disebut Mahkum Bih atau objek
hukum”. Yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’.
Objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri. Hukum itu
berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya “daging babi”. Pada daging
babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum
larangan adalah pada “memakan daging babi”; yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan
pada zat daging babi itu.
Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu hukum
taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukalaf;
sedangkan sebagian hukum wadh’i adalah yang tidak berhubungan dengan perbuatan
mukalaf seperti tergelincirnya matahari untuk masuknya kewajiban shalat Zuhur.
Tergelincirnya matahari itu (sebagian sebab) adalah
hukum wadh’i dan karena ia tidak menyangkut perbuatan mukalaf, maka ia tidak
termasuk objek hukum.
Memang “perbuatan” itu melekat pada manusia hingga
bila suatu perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka berlaku
pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif. Dengan
demikian, untukmenentukan apakan seseorang dikenai beban hukum terhadap suatu
perbuatan, tergantung pada apakah perbuatannya itu telah memenuhi syarat untuk
menjadi objek hukum.
Jenis Objek Hukum berdasarkan pasal 503-504 KUH
Perdata, disebutkan “Bahwa benda dapat bigai menjadi 2, yakni Benda yang
bersifat kebendaan ( Materiekegoderen ) dan Benda yang bersifat tidak kebendaan
( Immateriekogoderan ). Berikut ini adalah penjelasannya :
1. Benda yang
bersifat kebendaan ( Materiekegoderen ) ialah suatu benda yang sifatnya dapat
dilihat, diraba dan dirasakan dengan panca indera yang terdiri dari benda
berubah / berwujud. Yang meliputi :
a. Benda
bergerak / tidak tetap, yang berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang
tidak dapat dihabiskan.
b. Benda tidak
bergerak.
2. Benda yang
bersifat tidak kebendaan ( Immateriekogoderan ) ialah suatu benda yang
dirasakan oleh panca indera saja ( tidak dapat dilihat ) dan kemusian dapat
direalisasikan menjadi suatu kenyataan. Misalnya merk perusahaan, paten dan
ciptaan music / lagu.
B. Benda Sebagai Objek Hukum
Objek
hukum dapat berupa benda, baik benda yang bergerak, (misalnya mobil dan hewan)
maupun benda tidak bergerak (misalnya tanah dan bangunan). Di samping itu,
objek hukum dapat berupa benda berwujud (misalnya tanah, bangunan, dan mobil)
maupun benda tidak berwujud (misalnya hak cipta, hak merek, dan hak paten).
Kemudian
berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi
menjadi 2, yakni benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen), dan benda
yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan). Benda yang bersifat
kebendaan (Materiekegoderen)
Benda
yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya
dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda
berubah / berwujud, meliputi :
1. Benda bergerak / tidak tetap, berupa
benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan. Dibedakan
menjadi sebagai berikut :
a. Benda bergerak karena sifatnya,
menurut pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya
meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
b. Benda bergerak karena ketentuan
undang-undang, menurut pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda
bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-benda
bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan
terbatas.
2. Benda tidak bergerak. Benda tidak
bergerak dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
a. Benda tidak bergerak karena
sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya
pohon, tumbuh-tumbuhan, area, dan patung.
b. Benda tidak bergerak karena
tujuannya yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Mesin senebar benda
bergerak, tetapi yang oleh pemakainya
c. Benda tidak bergerak karena
ketentuan undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak
bergerak misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak
pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik.
Dengan
demikian, membedakan benda bergerak dan tidak bergerak ini penting, artinya
karena berhubungan dengan 4 hal yakni :
1. Pemilikan (Bezit)
Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda
bergerak berlaku azas yang tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata, yaitu
berzitter dari barang bergerak adalah pemilik (eigenaar) dari barang tersebut.
Sedangkan untuk barang tidak bergerak tidak demikian halnya.
2. Penyerahan (Levering)
Penyerahan (Levering) yakni terhadap
benda bergerak dapat dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau dari
tangan ke tangan, sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan balik nama.
3. Daluwarsa (Verjaring)
Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk
benda-benda bergerak tidak mengenal daluwarsa, sebab bezit di sini sama dengan
pemilikan (eigendom) atas benda bergerak tersebut sedangkan untuk benda-benda
tidak bergerak mengenal adanya daluwarsa.
C.
Manusia Sebagai Objek Hukum
Manusia sebagai subyek hukum dikatakan juga sebagai
pembawa hak atau pendukung hak. Sebagai subyek hukum manusia mempunyai hak dan
kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan dalam lapangan hukum, seperti
mengadakan perjanjian jual beli,mengadakan pernikahan, mengadakan pembagian warisan,
dan sebagainya.
Dalam ilmu pengetahuan hukum barat, manusia sebagai
pembawa hak atau sebagai subyek hukum dinamakan juga “persoon”. Soediman Kartohadiprodjo ( 1987: 77
) menyatakan, bahwa kedudukan hak pada manusia adalah sedemikian rupa yang
meskipun dikurangi oleh undang-undang atau putusan hakim atau dibatasi oleh
undang-undang, tetapi mengurangi atau membatasi ini tidak dapat sedemikian
sehingga orang yang bersangkutan itu kehilangan seluruh haknya sebagai orang (
pasal 1 KUH Perdata ).
Tiap manusia merupakan orang yang karena terbawa oleh
keadaan bahwa ia manusia. Karena itu orang yang bercorak manusia itu
disebut orang asli ( natuurlijke persoon ), sebagai lawan subjek hukum lainnya,
yaitu badan hukum ( recht persoon). Setiap manusia itu adalah orang, ini mengandung arti,
bahwa :
1. Tidak
dikenal adanya perbedaan yang berdasarkan agama, baik agama Islam, agama
Kristen, agama Hindu, agama Budha dan sebagainya, mereka itu merupakan orang.
2. Antara
kelamin yang satu dengan yang lainnya tidak diadakan perbedaan pula, baik
wanita maupun laki-laki.
3. Tida pandang
pula, apakah ia seorang kaya atau miskin, mereka mempunyai kedudukan yang sama
dan sederajat dalam masyarakat.
4. Tidak
pandang apakah manusia itu warga negara atau orang asing. Jadi kalau sampai
hukum perdata barat ini berlaku bagi orang asing, maka dia dianggap sebagai
orang.
Menurut Agus Somawinata ( 1996 : 9 )
yang dimaksud dengan subyek hukum adalah pendukung hak-hak perdata dan kewajiban-kewajiban
perdata subyek atau pendukung dari hubungan hukum ialah hubungan hukum perdata
yang mempunyai hak perdata. Jadi badan pribadi atau persoon adalah subyek hak
yang wenang berhak ( mempunyai kewenangan berhak), yaitu wenang untuk menjadi
pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata.
Dengan demikian kita dapat menerima
secara gamblang, bahwa setiap manusia dalam kedudukannya sebagai subyek hukum
mempunyai wewenang hukum, yaitu wewenang untuk memiliki hak-hak subyektif, di
mana hak-hak keperdataan tersebut tidak tergantung atau digantungkan kepada
hak-hak kewarganegaraan. Menurut Achmad Sanusi ( 1984 : 162 ) hak-hak subyektif
yang dimilki oleh setiap manusia dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1.
Mutlak
Yaitu hak-hak subyektif yang dapat dilaksanakan terhadap setiap orang,
dibalik wewenang daripada yang mempunyai hak, terdapat kewajiban bagi setiap
orang lain untuk menghormati hak tersebut. Selanjutnya dikatakan, bahwa hak
mutlak ini dapat dibagi 4, yaitu :
a. Hak-hak
kepribadian atas jiwa, badan, kehormatan dan nama
b. Beberapa hak
kekeluargaan seperti hak orang tua, hak perwalian dan hak marital
c. Hak-hak
kebendaan (sebagian dari hak kekayaan ), seperti hak eigendom, baik atas benda
berujud ataupun tidak berujud.
d. Hak-hak atas
barang-barang inmaterial, seperti hak mengarang, hak otroi dsb.
2.
Nisbi
Yaitu hak-hak kekayaan dan kekeluargaan yang tidak termasuk sebagai hak
mutlak
Berlakunya kedudukan manusia sebagai pembawa hak adalah sejak dia
dilahirkan sampai dia meninggal dunia, bahkan jika hukum memerlukan, misalnya
untuk kepentingan pembagian warisan, maka sejak dalam kandunganpun berlakulah
manusia sebagai pembawa hak, dengan catatan saat dia dilahirkan dalam keadaan
hidup, sungguhpun hanya beberapa menit saja. Hal ini sebagaimana dinyatakan
oleh Pasal 2 KUH Perdata, bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan , bilamana juga kepentingan si
anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan nya, dianggaplah ia tak pernah
telah ada.
Referensi
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar